BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makanan merupakan salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia. Sumber makanan yang dikonsumsi biasanya dari tumbuhan dan hewani. Meskipun bersumber dari sumber yang berbeda, tapi makanan yang harus dikonsumsi manusia itu setidaknya sesuai dengan kebutuhan yang perlukan oleh tubuh. Makanan yang dikonsumsi manusia biasanya mengandung nutrisi yang diperlukan antara lain, untuk pertumbuhan badan, memelihara jaringan tubuh yang rusak, dan untuk proses yang terjadi di dalam tubuh serta menghasilkan energi untuk dapat melakukan aktivitas.
Gorengan adalah salah satu makanan jajanan yang sampai sekarang ini masih memegang peranan penting dalam memberikan kontribusi kecukupan gizi, yaitu memberikan sumbangan energi mencapai 64,3 %. Sedangkan untuk kecukupan protein mencapai 37,7 % (Febry, 2006). Hal ini di dukung oleh semakin banyaknya warung yang menjajakan gorengan yang menjadi faktor semakin tingginya konsumsi gorengan oleh masyarakat.
Gorengan juga menjadi salah satu makanan yang mudah terkontaminasi bakteri baik karena perilaku penjamah maupun penyimpanannya yang selalu disajikan secara terbuka. Hal tersebut memberikan andil yang besar terhadap kejadian penyakit akibat makanan, dimana kita ketahui bahwa makanan menjadi salah satu media penularan penyakit dan pada akhirnya menjadi penyakit bawaan makanan.
Besarnya dampak penyakit bawaan makanan terhadap kesehatan belum diketahui, karena hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang akhirnya dilaporkan ke pelayanan kesehatan dan jauh lebih sedikit lagi yang diselidiki. Namun, perlu diketahui bahwa kasus penyakit bawaan makanan dapat dipengaruh oleh beberapa faktor, diantaranya kebiasaan mengolah makanan secara tradisional, penyimpanan dan penyajian makanan yang tidak bersih dan tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Statistik mengenai penyakit bawaan makanan di negara-negara industri maju menunjukkan bahwa 60 % dari kasus keracunan makanan disebabkan oleh penanganan makanan yang tidak baik dan kontaminasi pada hidangan makanan di tempat penjualan makanan. Begitupun di negara berkembang, keadaannya sama atau bahkan lebih parah (Depkes RI, 2004).
Kasus-kasus yang dilaporkan di negara maju diperkirakan sekitar 5-10 %, sedangkan di banyak negara berkembang data kuantitatif yang dapat diandalkan pada umumnya sangat terbatas. Kejadian penyakit yang ditularkan melalui makanan di Indonesia cukup besar. Terlihat dari masih tingginya penyakit infeksi seperti tipus, kolera, desentri, tbc, dan sebagainya. Lebih dari 90 % kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi mikroba (Agustina, 2009).
Badan Pusat Pengawasan Obat dan Makanan mencatat bahwa selama tahun 2004 di Indonesia terjadi 82 kasus keracunan makanan yang menyebabkan 6.500 korban sakit dan 29 orang meninggal dunia. Sebanyak 31% kasus keracunan itu disebabkan makanan yang berasal dari jasa boga dan buatan rumah tangga (Chandra, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pemeriksaan jumlah koloni pada makanan dengan sampel makanan (gorengan) yang menjadi makanan paling banyak digemari masyarakat pada umumnya.
B. Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui jumlah koloni yang terdapat pada sampel makanan (gorengan) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
C. Prinsip Percobaan
1. Tangan dan meja tempat praktikum harus dalam keadaan steril.
2. Alat dan bahan harus dalam keadaan steril.
3. Tabung reaksi diplambir sebelum dan sesudah dimasukkan sampel untuk menjaga agar tabung tetap steril.
4. Pipet ukur harus selalu dibersihkan dengan menggunakan aquades sebelum digunakan.
5. Pipet ukur harus diplambir sebelum dan sesudah digunakan.
6. Cawan petri yang telah dihomogenkan tidak boleh digeser / dipindahkan sampai nutrient agar membeku.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Makanan
Makanan didefenisikan sebagai setiap benda padat atau cair yang apabila ditelan akan memberikan suplai energi kepada tubuh dan pertumbuhan atau berfungsinya tubuh. Untuk menjadi energi, makanan perlu dipecah-pecah menjadi senyawa-senyawa yang kecil melalui proses pencernaan (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan defenisi WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Air tidak termasuk makanan karena memang merupakan elemen vital bagi kehidupan manusia (Chandra, 2007).
Makanan jajanan merupakan makanan yang sangat digemari orang-orang. Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat diperkirakan akan terus meningkat dikarenakan makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri sebab kebanyakan ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah.
Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat. Salah satu tempat penjualan makanan jajanan adalah sekolah, kampus, dan tempat-tempat umum lainnya. Tetapi masih banyak juga penjual makanan jajanan yang belum mengetahui cara penyajian dengan baik (Agustina, 2009).
Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan atau persyaratan kesehatan pangan (makanan dan minuman) merupakan kebutuhan pokok manusia yang memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. (UU RI No. 36 Tahun 2009).
Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan food borne disease pada manusia. Tujuan sanitasi makanan sendiri antara lain (Chandra, 2007):
1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.
2. Mencegah penularan penyakit.
3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.
4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan makanan.
Oleh karena itu, produksi dan peredaran makanan di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 329/MenKes/XII/1976 Bab II pasal 2 peraturan ini menyebutkan bahwa makanan yang diproduksi dan diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi syarat-syarat keselamatan, kesehatan, standar mutu, atau persyaratan yang ditetapkan oleh menteri untuk tiap jenis makanan (Susanna, 2006).
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Chandra (2007), ada empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia sebagai berikut:
1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak.
2. Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Mengatur metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral, serta cairan tubuh yang lain.
4. Berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai macam penyakit.
Kasus penyakit bawaan makanan (food borne disease) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut, antara lain kebiasaan mengolah makanan secara tradisional, penyimpan dan penyajian yang tidak bersih, dan tidak memenuhi persyaratan sanitasi (Chandra, 2006). Oleh karena itu, makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya (Prabu, 2008) :
1. Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki.
2. Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.
3. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
4. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan oleh makanan (food borne illness).
B. Tinjauan Umum Tentang Bakteriologis pada Makanan
Bakteri yang tumbuh di dalam makanan, mengubah mkanan tersebut menjadi zat-zat organik yang berkurang energinya. Didalam pengubahan itu bakteri memperoleh energi yang dibutuhkannya (Dwidjoseputro, 2005). Hasil metabolisme spesies-spesies tertentu yang digemari oleh manusia misalnya alkohol sebagai hasil metabolisme Saccharomyces cerevisiae, cuka sebagai fermentasi Acetobacter sp. Akan tetapi, ada beberapa spesies yang hasil metabolismenya merupakan eksotoksin yang berbahaya bagi kesehatahn manusia. Jika toksin itu masuk dalam alat pencernaan manusia, dapat menimbulkan gejala- gejala keracunan seperti perut sakit perut sakit, muntah-muntah, dan diare.
Beberapa bakteri koloni yang terdapat pada makanan yang dapat menyebabkan penyakit, yaitu (SNI 7388: 2009):
1. Vibrio Parahemolitik
Vibrio parahemolicus adalah bakteri halofilik yang merupakan bakteri bentuk batang bengkok, garam negatif dan bergerak karena ada flagel pada satu kutubnya. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob tidak dijumpai pada enterotiksin. Bakteri ini menetap di lingkungan lautan yang tenang dan dikenal menyebabkan gastroerileritis yang berhubungan dengan makanan.
2. Staphylococcus
Keracunan staphylococcus merupakan gejala intoksikasi yang paling banyak dilaporkan di Amerika Serikat, dimana setiap tahunnya meliputi 20 % sampai 50 % dari seluruh keracunan yang disebabkan oleh makanan. Gejala keracunan ini disebabkan oleh tertelannya suatu toksin yang disebut enterotoksin yang mungkin terdapat di dalam makanan dan diproduksi oleh spesies dan strain tertentu dari bakteri staphylococcus. Toksin ini disebut enterotoksin karena dapat menyebabkan gastroentritis atau inflamasi pada saluran usus. Bakteri yang dapat menyebabkan keracunan staphylococcus atau strain tertentu dan Staphylococcus aerus.
Pembentukan enterotoksin oleh S. Aereus dalam makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya terposisi subtrat suhu, waktu dan pH, adanya garam NaCl dan Nitrit, antibiotik dan sebagainya.
Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh Staphylococcus aereus dalam makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Jenis makanan yang dapat ditumbuhi S. Aereus misalnya daging dan ikan yang telah dimasak atau diolah, hasil olahan telur, makaroni, susu, keju dan hasil olahan sayur yang mengandung daging atau kaldu. Meskipun telah dmasak, makanan-makanan tersebut masih mungkin mengalami kontaminasi. Misalnya melalui tangan/ lingkungan selama penyimpanan sebelum dikonsumsi. Keracunan staphylococcus hampir selalu berasal dari makanan yang telah dimasak, karena pada makanan yang telah dimasak jumlah mikroba lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat kurang.
3. Salmonella
Salmonella terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi, tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah salmonella dalam makanan, semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang memakan makanan tersebut dan semakin cepat waku inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi.
Makanan yang sering terkontaminasi oleh salmonella yaitu telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi serta susu dan hasil olahannya, es krim dan keju. Contoh kasus, hampir setiap penyakit infeksi dari salmonella disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Bahan makanan yang sudah tercemar tersebut seperti kue yang mengandung susu, daging cincang, sosis, telur dan daging panggang. Gejala awal nyeri kepala, muntah, gangguan pada perut waktu baung air besar, suhu tubuh tinggi disertai batuk kering.
4. E. Coli Pathogen
E. Coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek (kokobasil). Gram negative, ukuran 0,4 µm – 0,7 µm x 1,4 µm, dan beberapa strain mempunyai kapsul. Terdapat strain E. Coli yang patogen dan non patogen. E. Coli patogen banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal dan berperan dalam pencernaan pangan dengan menghasilkan vitamin K dari bahan yang belum dicerna dalam usus besar.
5. Clostridium Perfringes
Clostridium pefringens adalah bakteri patogen invasif berbentuk batang, nonmotil, bersifat gram positif dan anaerob, serta mempunyai spora yang relatif stabil terhadap suhu panas. Sel vegetatifnya dapat rusak pada suhu 600C. Sel sebanyak 105 koloni/g memungkinkan terjadinya keracunan makanan. Ciri umum dari keracunan Clostridium pefringens adalah gejala kejang perut dan diare. Pada beberapa kasus, penyebab Clostridium pefringens disebabkan karena kesalahan saat memasak. Sejumlah kecil sel vegetatif tetap ada setelah proses pemasakan dan memperbanyak diri selama proses penyimpanan, akibatnya makanan terkontaminasi.
Clostridium Perfringes biasanya terdapat dalam daging mentah dan tinja hewan, bakteri ini penyebab utama keracunan makanan. Penyakit ini timbul akibat mengkonsumsi makanan yang tercemari organisme tersebut dan disimpan dalam kondisi suhu yang menunjang berkembang biaknya spora dan sel vegetatif yang menghasilkan enterotoksin pada waktu membentuk spora dalam rongga usus. Gejala keracunan timbul 8- 24 jam setelah makanan tercemar, gejala utamanya adalah sakit perut dan diare.
C. Tinjauan Umum Tentang Food Borned Disease
Food Borne Disease adalah suatu gejala penyakit yang timbul akibat makan bahan makanan yang mengandung mikroorganisme atau toxinnya termasuk tumbuh-tumbuhan, bahan kimia, dan binatang (Anwar, 2005).
Penyakit bawaan makanan adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan yang tidak sehat, baik berupa penyakit infeksi, maupun akibat bahan kimia berbahaya terdapat dalam makanan yang dengan sengaja ditambahkan atau tidak. Para ilmuan pada umumnya sepakat bahwa penyebab utama penyakit bawaan makanan adalah pencemaran kuman – kuman yang berbahaya terhadap kesehatan. Penyakit-penyakit karena makanan dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar, yakni :
1. Penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh perpindahan kuman penyakit.
2. Keracunan makanan (food poisoning) dan infeksi karena makanan (food infection) yang disebabkan oleh bakteri.
3. Keracunan makanan yang penyebabnya bukan mikroorganisme.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya food borne disease yang disebabkan oleh bakteri adalah sebagai berikut:
1. Kontaminasi makanan oleh bakteri yaitu menyebabkan food borne disease terjadi melalui:
a. Kontaminasi silang (cross contamination), yaitu pencemaran yang terjadi secara langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan makanan, contohnya bahan mentah bercampur dengan makanan matang.
b. Kontaminasi peralatan yang tidak bersih.
c. Kontaminasi melalui serangga, binatang pengerat dan hewan lain.
d. Kontaminasi oleh penjamah makanan yang terinfeksi memenuhi syarat 57,39% yang terdapat peningkatan sebesar 3,59%.
e. Metode pemeliharaan makanan yang tidak adekuat.
2. Bakteri yang dapat bertahan hidup dalam makanan karena proses pematangan atau pemanasan yang tidak adekuat dapat menyebabkan food borne disease. Beberapa bakteri dapat bertahan hidup dalam makanan karena mempunyai spora yang melindungi bakteri dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, contoh pemanasan. Pembentukan spora oleh bakteri meningkatkan ketahanan bakteri terhadap panas, bahan kimia dan sel fagosit jika bakteri tersebut masuk kedalam tubuh.
D. Tinjauan Umum Tentang Metode Standard Plate Count (SPC)
Standard Plate Count (SPC) atau Angka Lempeng Total (ALT) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu produk. Di beberapa negara, SPC dinyatakan sebagai Aerobic Plate Count (APC) atau Aerobic Microbial Count (AMC). SPC secara umum tidak terkait dengan bahaya keamanan makanan, namun bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan, kontaminasi, dan status hygiene/sanitasi selama proses produksi. Media plating (sumber energi) yang digunakan dalam pengujian SPC dapat mempengaruhi jumlah dan jenis bakteri yang diisolasi karena perbedaan persyaratan nutrisi dan garam pada tiap mikroba (SNI 7388:2009). Adapun rumus perhitungan SPC adalah sebagai berikut (Ane, 2013):
(10-3 – kontrol) x 1000 + (10-4 – kontrol) x 10000
Jumlah Kuman =
2
= . . . . . . koloni/gram.
Cara perhitungan koloni pada metode cawan ini adalah dengan menggunakan Standard Plate Count (SPC), caranya adalah sebagai berikut (Ericka, 2011).
1. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal). Jika angka yang ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tiinggi pada angka kedua.
2. Jika pada semua pengenceran dihasilkan kurang dari 30 koloni mikroba pada cawan petri, berarti pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Oleh karena itu jumlah koloni pada pengenceran yang terendah yang diukur/dihitung. Selanjutnya hasil yang kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung.
3. Jika pada semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada medium, berarti pengeceran yang dilakukan terlalu rendah. Oleh karena itu jumlah koloni pada pengenceran yang tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan kemudian dikalikan dengan faktor pengencernya, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung.
4. Jika digunakan dua cawan petri per pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu. Oleh karena itu harus dipilih tingkat pengenceran yang menghasilkan koloni diantara 30-300.
BAB III
METODE PERCOBAAN
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Kantong plastik steril 1 buah
b. Tabung reaksi 5 buah
c. Rak tabung reaksi 1 buah
d. Cawan petri 3 buah
e. Blender 1 buah
f. Pipet ukur 2 buah
g. Bulp 1 buah
h. Pembakar bunsen 1 buah
i. Colony Counter 1 buah
j. Gelas beaker 1 buah
k. Inkubator 1 unit
l. Timbangan analitik 1 unit
m. Vortex mixer 1 unit
n. Labu erlenmeyer 1 buah
o. Spatula steril 1 buah
p. Pemantik api 1 buah
q. Gelas ukur 1 buah
2. Bahan
a. Sampel makanan gorengan 10 gram
b. Larutan NaCl 9 ml/tabung
c. Larutan pepton 90 ml
d. Nutrient agar secukupnya
e. Aquades secukupnya
f. Kertas Label secukupnya
g. Kapas secukupnya
h. Alkohol secukupnya
B. Waktu dan Tempat Pengembilan Sampel
1. Waktu : Rabu, 13 Maret pukul 10.00 WITA.
2. Tempat : Kantin Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
3. Prosedur Kerja
1. Pengambilan Sampel
a. Disiapkan plastik steril untuk menyimpan sampel makanan.
b. Tangan disterilkan dengan alkohol.
c. Sampel makanan diambil dengan menggunakan spatula steril.
d. Sampel makanan dimasukkan ke dalam plastik steril.
e. Plastik wadah sampel ditutup rapat.
2. Pembuatan Kontrol
a. Disiapkan 1 buah cawan petri dan di beri label (kontrol).
b. NaCl steril dipipet sebanyak 1 ml kedalam cawan petri dan di tambahkan nutrient agar. Kemudian di homogenkan dengan membentuk angka 8 di atas meja sebanyak 12 kali.
c. Cawan petri (kontrol) yang telah dihomogenkan, didiamkan sampai membeku.
d. Setelah membeku, dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 34oC dengan posisi terbalik selama 1 x 24 jam.
3. Pemeriksaan Sampel Makanan
a. Tangan dan meja tempat praktikum disterilkan dengan menggunakan alkohol.
b. Spatula yang akan digunakan untuk mengambil sampel makanan harus disterilkan dengan menggunakan alkohol.
c. Makanan jajanan gorengan dicampur menjadi satu bersama dengan saus sambalnya sampai merata.
d. Sampel makanan dihancurkan menggunakan spatula dan ditimbang hingga mencapai 10 gram.
e. Sampel makanan 10 gram diblender dengan larutan pepton sebanyak 90 ml hingga halus, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker.
f. Disiapkan 4 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi NaCl 9 ml. keempat tabung tersebut diberi label 10-1, 10-2 , 10-3 , 10-4 secara berturut-turut.
g. Disiapkan 1 pipet ukur steril yang telah dilengkapi bulp.
h. Pipet ukur dan mulut tabung reaksi di plambir sebelum dan sesudah digunakan untuk menghindari terjadinya kontaminasi bakteri baik dari udara, peralatan praktikum, maupun dari praktikan. Khusus untuk pipet ukur, harus selalu dibersihkan dengan aquades setiap kali digunakan agar tidak ada sisa sampel yang tertinggal.
i. Dimasukkan 1 ml sampel makanan kedalam tabung pengenceran pertama (10-1) dengan menggunakan pipet ukur, lalu dihomogenkan dengan vortex mixer selama ± 1 menit.
j. Dari tabung pengenceran pertama (10-1), diambil 1 ml sampel dan dimasukkan kedalam tabung pengenceran kedua (10-2), lalu dihomogenkan dengan vortex mixer selama ± 1 menit.
k. Dari tabung pengenceran kedua (10-2), diambil lagi sebanyak 1 ml sampel dan dimasukkan kedalam tabung pengencer ketiga (10-3), lalu dihomogenkan dengan vortex mixer selama ± 1 menit.
l. Diambil sebanyak 1 ml sampel dari tabung pengenceran ketiga (10-3) dan dimasukkan kedalam tabung pengenceran terakhir (10-4), lalu dihomogenkan dengan vortex mixer selama ± 1 menit.
m. Dimasukkan 1 ml sampel dari tabung pengenceran ketiga (10-3) dan keempat (10-4) berturut-turut kedalam cawan petri yang berlabel 10-3 dan 10-4 , lalu diberi nutrient agar hingga menutupi seluruh permukaan cawan, kemudian masing-masing sampel dihomogenkan dengan cara diputar membentuk angka 8 sebanyak 12 kali. Sampel didiamkan sampai membeku selama ± 10 menit.
n. Kedua cawan petri (10-3 dan 10-4) yang telah membeku, dimasukkan kedalam inkubator selama 1 x 24 jam pada suhu 34˚C.
o. Setelah 1 x 24 jam, cawan petri dikeluarkan dari dalam inkubator. Bakteri yang tampak pada cawan petri kemudian dihitung dengan menggunakan colony counter.
4. Perhitungan Jumlah Bakteri
Sampel yang telah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C, dikeluarkan dari inkubator. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah koloni bakeri (berupa bercak atau titik-titik bulat berwarna putih) yang terdapat dalam cawan petri dengan alat colony counter. Untuk jumlah kuman masukkan kedalam rumus:
(10-3 – kontrol) x 1000 + (10-4 – kontrol) x 10000
Jumlah Kuman =
2
= . . . . . . koloni/gram.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan di Laboratorium Terpadu FKM Universitas Hasanuddin, maka diperoleh hasil pemeriksaan bakteriologis pada makanan gorengan di FKG Universitas Hasanuddin sebagai berikut:
Tabel 1
Hasil Pengamatan Jumlah Koloni Makanan (Gorengan)
Di Kantin Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin
No. Pengenceran Jumlah Koloni
1. 10-3 307 koloni/gram
2. 10-4 126 koloni/gram
3. Kontrol 37 koloni/gram
Sumber : Data primer, 2013
Berdasarkan perhitungan Standard Plate Count (SPC), maka didapatkan hasil sebagai berikut:
(10-3 – kontrol) x 1000 + (10-4 – kontrol) x 10000
Jumlah Kuman =
2
(307 – 37) x 1000 + (126 - 37) x 10000
=
2
270000 + 890000
=
2
1.116.000
= = 580.000 koloni/gram
2
B. Pembahasan
Berdasarkan tabel hasil pengamatan jumlah koloni makanan (gorengan) di kantin Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, maka didapatkan hasil pada pengenceran ketiga (10-3) dan keempat (10-4) berturut-turut adalah 307 koloni/gram dan 126 koloni/gram. Didapatnya hasil yang berbeda pada kedua media cawan dengan pengenceran, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengenceran yang dilakukan, semakin sedikit mikroba yang tumbuh dalam media. Dapat dilihat bahwa pada pengenceran ketiga (10-3) yaitu terdapat 307 koloni, lebih banyak jumlahnya dibandingkan hasil yang didapatkan pada pengenceran keempat (10-4) yaitu 126 koloni/gram.
Pertumbuhan bakteri pada medium agar pada umumnya berbentuk koloni, berupa lendir berwarna putih dan mengkilap. Pada percobaan ini, untuk membiakkan atau menumbuhkan bakteri maka dilakukan pengenceran sampai 4 (empat) kali yaitu, suatu sampel dari suatu suspensi yang berupa campuran diencerkan dalam suatu tabung tersendiri secara berkelanjutan dari suatu tabung ke tabung lain sampai pada pengenceran keempat. Metode ini umumnya dilakukan pada mikroba yang dapat membentuk koloni yang mudah terpisah pada media padat seperti kebanyakan bakteri, khamir, jamur, dan alga uniseluler (Hadioetomo, 1985 dalam Sudarsono, 2008).
Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba pada media cawan atau dengan kata lain untuk memperkecil jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan, sehingga mempermudah dalam perhitungan jumlah mikroba. Tujuan dari pengenceran ini sesuai pernyataan Sudarsono (2008), yaitu untuk menurunkan jumlah bakteri sehingga pada pengenceran terakhir akan didapatkan jumlah koloni yang lebih sedikit dan mudah diketahui jumlahnya.
Disamping itu, penggunaan media agar bukan hanya difungsikan sebagai media pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, tetapi juga untuk tujuan-tujuan lain, misalnya untuk isolasi, seleksi, evaluasi, dan deferensiasi biakan yang didapatkan. Artinya, penggunaan beberapa jenis zat tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, banyak dilakukan dan dipergunakan. Sehingga tiap-tiap media mempunyai sifat (spesifikasi) tersendiri sesuai dengan maksudnya.
Spesifikasi media yang dimaksud adalah pada percobaan yang dilakukan, 2 (dua) cawan petri digunakan sebagai biakan mikroba dari hasil pengenceran dan 1 (satu) untuk medium kontrol yang berfungsi untuk mengetahui kondisi awal lingkungan pemeriksaan dengan memasukkan 1 ml NaCl ke dalam cawan petri dan dituangkan nutrient agar, lalu dihomogenkan dengan cara diputar membentuk angka 8 sebanyak 12 kali pada medium datar seperti pada pembuatan medium sampel.
Selain itu, dilakukan pula beberapa perlakuan, seperti plambir sebelum dan setelah alat digunakan ataupun selalu dekat dengan pembakar bunsen pada saat bekerja dengan tujuan menghindari kontaminasi bakteri, selain dari bakteri yang dibiakkan. Kemudian larutan dihomogenkan dengan vortex mixer agar pada larutan tidak terjadi dua fase dan larutan tercampur dengan rata. Pada percobaan dilakukan juga penimbangan bahan makanan dengan tujuan agar sampel yang akan periksa atau amati, sesuai takaran yang telah ditentukan.
Selanjutnya, cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator selama 1 x 24 jam dengan keadaan terbalik. Waktu ini adalah masa yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri yang dikenal sebagai waktu generasi. Suhu yang digunakan selama inkubasi yaitu 34˚C dan bakteri yang dapat tumbuh pada suhu ini adalah bakteri jenis mesofil dengan suhu minimum 10-20 ˚C, optimum 20-40 ˚C, dan maksimum 40-45 ˚C.
Untuk menghitung jumlah koloni, digunakan alat colony counter yang memudahkan perhitungan koloni bakteri yang sulit diamati dengan penglihatan langsung. Faktor yang dapat mempengaruhi jumlah koloni pada makanan (gorengan) antara lain dari cara pengolahan dan penyajian termasuk di dalamnya hygiene dan sanitasi makanan, baik penjamah maupun tempat kerja.
Adapun hasil perhitungan untuk kontrol didapatkan hasil sebanyak 37 koloni/gram. Hal ini menandakan bahwa kondisi awal lingkungan adalah mengandung mikroba sebanyak 37 koloni/gramnya. Meskipun pada dasarnya hasil pemeriksaan untuk kontrol idealnya 0 (nol) koloni/gram, akan tetapi nilai ini boleh jadi karena ada kontaminasi dari praktikan ataupun lingkungan dilakukannya pemeriksaan, termasuk alat yang digunakan pada saat praktikum. Dengan catatan bahwa nilai dari kontrol harus lebih kecil dari nilai pada pemeriksaan media biakan mikroba, seperti yang didapatkan pada hasil perhitungan menggunakan colony counter yaitu pada pengenceran ketiga (10-3) dan keempat (10-4) berturut-turut adalah 307 koloni/gram dan 126 koloni/gram, lebih tinggi dari nilai hasil pemeriksaan untuk kontrol yaitu 37 koloni/gram.
Dalam proses pemeriksaan bakteriologis makanan, digunakan metode Standard Plate Count (SPC) dengan prosedur fermentasi tabung ganda. Pada prosedur percobaan ini, dilakukan upaya penumbuhan mikroba pada kultur atau biakan buatan di luar habitat alami. Dalam hal ini, biakan buatan yang digunakan adalah nutrient agar. Adapun nutrient agar berfungsi sebagai media pertumbuhan yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang sangat dibutuhkan oleh bakteri, seperti agar sebagai sumber energi, aquades, pepton untuk pH, dan sebagainya,
Hasil perhitungan dengan metode Standard Plate Count (SPC), diperoleh jumlah koloni pada gorengan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin sebanyak 580.000 koloni/gram, sedangkan untuk standar batas maksimum cemaran mikroba oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya 1 x 104 koloni/gram. Hal Ini berarti bahwa jumlah koloni pada gorengan melampaui batas maksimum cemaran mikroba yang telah ditetapkan pada pangan. Banyaknya bakteri dalam makanan (gorengan), menurunkan kualitas kandungannya karena bakteri yang tumbuh dalam makanan akan mengubah makanan ini menjadi zat-zat organik yang kemudian digunakan oleh bakteri untuk memenuhi kebutuhan energinya (Dwidjoseputro, 2005), sehingga makanan (gorengan) tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat, dalam hal ini dilihat dari segi bakteriologis.
Keberadaan mikroba (bakteri) pada makanan (gorengan) di kantin Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, selain berasal dari lingkungan pemeriksaan sampel, dapat pula dipengaruhi oleh proses pengolahan yang tidak hygienis, terlebih makanan (gorengan) disajikan secara terbuka, sehingga kontaminasi oleh mikroba lebih besar, baik itu dari penjamah, pembeli ataupun kontaminasi langsung dari lingkungan kantin tersebut. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kontaminasi mikroba pada makanan (gorengan) berasal dari ketidaktelitian praktikan pada saat melakukan percobaan, mulai dari proses pengambilan sampel yang tidak sesuai dengan prosedur kerja dan terlalu banyak berbicara pada saat melakukan percobaan.
Akibat kontaminasi bakteri terhadap sampel gorengan seperti E. coli, Salmonella sp. dan beberapa bakteri patogen lainnya, akan mempengaruhi kesehatan meskipun pada dasarnya konsumsi satu atau dua kali masih berada pada tingkat yang bisa ditoleransi. Akan tetapi, keterpaparan yang lebih jauh bisa akan menyebabkan terjadinya food borne disease, misalnya diare ataupun keracunan makanan. Oleh beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan diare, ada jenis bakteri yang bahkan sampai menyebabkan diare berdarah, yaitu Clostridium pefringens (SNI 7388:2009).
Oleh karena itu, higiene dan sanitasi makanan sangat penting untuk diperhatikan, terlebih lagi bagi penjamah makanan dalam mengolah dan menyajikan makanan agar penjamah dan konsumen senantiasa terjaga kesehatannya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri yang terkandung pada makanan (gorengan) di Kantin Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin adalah sebanyak 580.000 koloni/gram dan telah melampaui batas yang diperkenankan oleh SK DIRJEN Pemantauan Obat Dan Makanan (POM) tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan Nomor HK.00.06.1.52.4011 Tanggal 28 Oktober 2009 yaitu 1 x 104 koloni/gram.
B. Saran
1. Dalam melakukan percobaan, untuk mendapatkan hasil yang akurat maka dibutuhkan ketelitian dan penguasaan materi oleh praktikan.
2. Kepada mahasiswa, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait pemeriksaan bakteriologis pada makanan, khususnya pada gorengan sebagai salah satu makanan jajanan yang digemari anak sekolahan termasuk mahasiswa.
3. Kepada tim pengajar, sebelum praktikum dimulai, disarankan untuk memberikan pengantar atau dasar teori tentang yang akan dipraktikkan.
4. Kepada masyarakat, diharapkan lebih berhati-hati dalam memilih makanan jajanan untuk menghindari kemungkinan terburuk jika terjadi kontaminasi bakteri pada makanan.